Minggu, 21 Maret 2010

Mengomentari Editan The Ninth


Mengomentari Editan The Ninth
---Anwar Holid

Beberapa hari sebelum acara publisitas The Ninth (Anak Kesembilan) karya Ferenc Barnás (GPU, 2010, 296 hal.) di Rumah Buku/Kineruku, Bandung, saya menerima email dari Andika, seorang peresensi. Dia bertanya, "Seberapa puas kamu dengan The Ninth edisi bahasa Indonesia? Adakah kesulitan dalam penyuntingannya?"

Saya jawab: Secara pribadi, saya sangat puas dengan proses penerbitan buku ini. Vira (penerjemah) mengerjakan buku ini dengan baik dan luwes. Mbak Katalin B. Nagy menyelaraskan terjemahan itu pada edisi asli berbahasa Hongaria, meski Vira menerjemahkan dari edisi Inggris karya Paul Olchváry. Jadi menurut saya proses editingnya ketat, sungguh-sungguh, dan mestinya memang begitu bila hendak menerbitkan buku dengan baik.

Kepuasan ini nanti bisa dikonfrontasikan dengan komentar awal Ari Jogaiswara, dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran yang mengomentari The Ninth. Ari bilang fungsi Vira mirip Transtool. Saya cukup terkejut dengan pernyataan itu, menyimpan dalam hati, tapi belum bisa mengonfirmasi lebih jauh.  Mbak Katalin sendiri menyatakan betapa Ari menyampaikan pendapat yang berbeda sekali soal terjemahan itu waktu dia dan Ferenc bertemu di Rumah Buku.

Selama proses editing, saya, mbak Katalin, dan mbak Anastasia (pihak GPU) cukup intens berdiskusi, mulai dari soal diksi, struktur penulisan, sampai pilihan terhadap kemasan buku. Pekerjaan utama saya ialah berusaha membuat kalimat agar lebih efektif dan mudah dipahami. Misal mengurangi kata 'yang' karena penggunaannya terlalu ekstensif, juga penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi. Contoh:

tak berperasaan --> keterlaluan

Sebagian besar penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi saya ubah. Yang saya biarkan ialah untuk menegaskan atau bila padanan lebih kuatnya terlalu sulit saya temukan.

Karena berpihak pada kemudahan pembacaan (readability), saya sempat mengganti beberapa diksi yang tampak cukup asing dan sulit, meski kalau digunakan berpeluang mengayakan kosakata buat pembaca.

Contoh diksi pilihan mbak Katalin, 'hoskut.' Kata ini terdengar sulit dan asing; saya agak yakin pembaca harus buka kamus untuk memastikan artinya. Saya tanya istri, apa dia tahu 'hoskut' (baju yang dipakai perempuan), ternyata tidak. Saya usul agar diganti dengan 'daster' atau 'jubah.' Akhirnya kami sepakat memilih 'jubah', dengan komentar mbak Katalin sebagai berikut: 'Jubah' dalam (seluruh) teks dipakai untuk menyebut pakaian pastor, maka mudah-mudahan jelas bahwa yang dipakai Mama adalah 'jubah' lain. Sebenarnya pakaian Mama berbentuk seperti mantel tanpa lengan. Pokoknya pakaian wanita yang biasa dipakai di dalam rumah. (Di internet saya temukan hoskut n: a loose hoskut bagi perempuan [syn: pakaian rumah untuk wanita], gaun tidur atas). Tetapi jelas, kalau istilah ini tak dipakai dalam bahasa sehari-hari, sebaiknya dibatalkan.

Awalnya saya juga sengaja cukup sering memecah paragraf terlalu panjang dan mengubah struktur penuturan yang menurut saya sulit dipahami. Tujuannya betul-betul untuk memudahkan pembaca.

Perubahan drastik misalnya saya lakukan di bagian akhir bab sembilan, yaitu di bagian percakapan waktu anak ke sembilan diinterogasi. Saya membuat percakapan itu ke bawah (jadi paragraf baru), padahal teks aslinya terus bersambung tanpa paragraf. Pertimbangannya, selain demi memudahkan pembacaan, saya kira tindakan itu akan bisa menguatkan situasi. Sebaliknya, mbak Katalin ingin mempertahankan teks sebagaimana aslinya. Setelah mendapat masukan dari mbak Anas, kami memecah bagian itu hanya jadi tiga paragraf---jadi bentuk aslinya hanya berubah sedikit, namun keinginan memudahkan pembaca juga tercapai. Pada akhirnya struktur edisi Indonesia lebih setia pada edisi Hongaria.

Salah satu kesulitan yang saya hadapi waktu menyunting naskah ini justru di detail. Misal soal istilah bangunan dan soal "rasa bahasa." Bisa jadi ini karena jam terbang penyuntingan saya masih sedikit.

Ejaan juga begitu. Di buku ini kami memilih Moskow dengan pertimbangan GPU, Tempo, dan Kompas lebih memilih itu daripada Moskva ataupun Moscow (b. Hongaria: Moszkva). Menurut kami, pilihan itu lebih banyak disepakati umum.

Walhasil, pembaca bebas menanggapi dan menerima upaya penerbitan The Ninth dari segala aspek, terlebih-lebih dari sisi penyuntingan. Secara keseluruhan saya ingin sekali lagi menegaskan betapa edisi Indonesia ini berutang banyak pada kerja keras mbak Katalin. Kita pantas memberikan kredit kepadanya. Saya sendiri sering merasa rewel (bawel) terhadap buku yang jelek penyuntingannya. Sekarang giliran saya menerima kritik, apa buku yang ikut saya kerjakan ini memuaskan atau mengecewakan.[]3/19/2010

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com

Minggu, 14 Maret 2010

Poligami Bukan Satu Masalah


Sumber : Kiriman Cili via milis Ikhwanul Muslimun
Poligami bukan satu masalah tetapi ia adalah perjalanan hidup manusia yang hidup baik lelaki maupun wanita didalam menuju kesurga Allah. Setakat ini saya belum jumpa sesiapa yang mampu menerangkan asas poligami sebenar maupun mufti negara. Rata2 samaada lelaki atau wanita memandang poligami sebagai perbuatan keji dan hina.
Berpoligami adalah hak kaum lelaki yang Allah kurniakan pada kaum lelaki dan Rasullullah telah mengamalkan dengan 9 isteri. Namun begitu hak berpoligami telah dirampas dari kaum lelaki dengan ujudnya undang-undang yang tujuannya adalah untuk melindungi kaum wanita. Apabila hak poligami dicabul maka penyakit lain telah timbul iaitu kawin lari diselatan thailand. Inilah akibatnya bila buat undang2 ikut hawa nafsu.
Ramai kaum lelaki dipaksa menjadi dayus kerana apabila nak kawin terpaksa minta tandatangan isteri. Belum ada ayat al quran atau hadis menyuruh minta izin bila lelaki nak kawin lebih dari satu. Dari mana hukum ini dirujuk? Akibat nya ramai lelaki berzina akibat dari undang2 yang mengikut hukum akal. Dengan ini ujudlah teori kaum wanita telah dianiaya kaum lelaki kerana tak dapat nafkah zahir dan batin.
Satu perkara yang kaum wanita tidak sedar poligami menjadi masalah kepada mereka adalah kerana kaum wanita sendiri :-
1. Mayoritas kaum wanita membenci poligami ( sikap ini bertentangan dengan sunnah rasul)
2. Apakah berlaku bila lelaki kawin lebih dari satu :- isteri tua benci atau hasut suami cerai isteri muda dan jangan beri nafkah lahir dan batin atau sebaliknya hal serupa dilakukan oleh isteri muda.
3. Ada kaum wanita sanggup bagi suami makan benda kotor untuk tundukkan suami
4. Kaum lelaki digoda oleh wanita dengan gaya pakaian menjolok mata membuatkan lelaki ingin kawin lain.
5. Wanita dirumah pakai pakaian selekeh tetapi bila keluar rumah pakai pakaian cantik2
6. Kaum suka memakai pakaian yang mengghairahkan semasa pergi kerja atau keluar rumah untuk menarik perhatian kaum lelaki.
7. Kaum wanita kurang pengetahuan agama maka mudahlah ia ditipu syaitan.
Siapakah disebalik masalah ini berlaku? Yahudi dan nasorolah yang punya angkara kerana mereka telah mencampuri sistem keluarga islam.
Umat islam digalakkan memakai kondom untuk menjarakkan kelahiran. Kaum wanita dilarang bersalin ramai anak dan susu tin di war2kan secara besar-besaran. Kaum wanita digalakkan memakai kosmtik tidak halal. Mendedahkan aurat walaupun memakai tudung.
Oleh itu cerdik pandai ugama patut mendidik kaum wanita supaya menjadi wanita solehah seperti Siti Khodijah dan Fatimah az zahra.
Dalam masa yang sama kaum lelaki juga wajib dididik memahami apa itu poligami.
Kembali lah wahai kamu kaum lelaki dan wanita kepada al quraan dan sunnah nabi supaya tiada penganiayaan berlaku sama ada kaum lelaki atau wanita.
Bangkitlah kamu wahai ahli agama betulkan masyarakat jangan asyik ambil gaji tapi kerja kurang. Fahami alquran dan nasihat umat manusia

Minggu, 20 September 2009

Konser Diam-diam Efek Rumah Kaca


Sumber : Kiriman Anwar Holid via Milis Pasar Buku diposting kembali oleh opungregar
Oleh Anwar Holid

Band Efek Rumah Kaca (ERK) manggung tanpa disertai publisitas di Rumah Buku, Bandung. Main secara akustik, membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, diselingi kejutan menyanyikan beberapa cover version, dalam konser yang berlangsung intim dan dirancang bagus.

BANDUNG - Masih dalam suasana agak murung karena kemarin Shanti panas demam dan kondisi finansial masih melarat, aku sekeluarga datang ke Rumah Buku untuk nonton band Efek Rumah Kaca pada Sabtu, 6 Juni 2009. Seminggu lalu tersiar kabar dari mulut ke mulut bahwa band indie yang lagi hip ini akan manggung di tempat yang asri ini. "Tapi jangan bilang-bilang orang lain ya, soalnya mereka ingin bikin kejutan kayak konser rahasia, gitu," kata orang waktu aku terakhir ke sana untuk pinjam buku The Book of Disquiet (Fernando Pessoa).

Tubuh Shanti sudah normal sejak pagi tadi, dan keceriaannya juga pulih. Itu membuat kami berani membawanya. Rumah Buku sudah lebih ramai dari biasanya waktu kami datang. Teras belakang mereka sedang disetting menjadi "ruang keluarga" untuk persiapan main Efek Rumah Kaca. Fenfen dan Ilalang kangen-kangenan dengan menyapa orang-orang yang mereka kenal. Rani dan Budi dari Rumah Buku menyambut dengan ramah dan lucu-lucuan. Dalam suasana seperti itu, kesenangan menghampiri dan aku merasa mudah penuh terisi oleh kelegaan.

"Maaf ya, mulai mainnya jadi jam setengah lima. Soalnya kita ingin dapat suasana sore yang bagus," entah kata Rani atau Budi yang bilang waktu jam sudah menunjukkan pukul 15.30, jadwal mereka manggung. Wah, makin malam kami pulang, makin kuatir kami pada kondisi Shanti. Orang demam bisa balik panas lagi kalau belum-belum pulih. Bandung hari itu panas, meski sempat turun gerimis sebentar. Menjelang konser cuaca cerah sekali.

"Yang datang ternyata cukup banyak juga ya. Tadinya kami khawatir nggak akan ada yang datang karena sok-sok bikin konser diam-diam, gitu," kata Cholil menyapa penonton yang pada duduk memenuhi taman beralaskan koran dan berbekal losion antinyamuk. Konser tanpa pemberitahuan ini mengingatkan aku pada Heima, film karya grup Sigur Ros tentang mudik mereka di Islandia setelah sekitar setahunan tur keliling dunia. Film kebanyakan berisi scene alam terbuka dan suasana lingkungan yang dramatik.

Aku baru pertama kali ini lihat Efek Rumah Kaca. Sound gaya unplugged mereka menurutku keren. Cholil memainkan gitar akustik yang setting suaranya mengeluarkan bunyi begitu kuat dan penuh, hingga melodi-melodi yang tinggi dan nyaring dari album mereka tersalin dengan sempurna. Adrian main bass dengan kalem, mengiringi sebagai backing vokal. Akbar menurutku tampak sangat santai dan paling enak dilihat. Gerakan tubuhnya di tengah set drum terlihat ritmik, sambil tangan dan kakinya bekerja. Hentakan drumnya asyik; tidak terdengar sebagai pukulan drum nada pop, tetapi malah seperti dalam band jazz atau progresif rock.

Pilihan nada mereka mengingatkan aku pada grup seperti Pink Floyd dan Coldplay. Secara musikalitas, gaya akustik ini terdengar mirip dengan pilihan Damien Rice. Gitar dan bass dibuat seakan-akan bergema, iringan pukulan drum atraktik, jadi meskipun mereka trio, musiknya penuh. Tak ada ruang kosong yang terdengar karena mereka sedikitan. Lagu-lagu mereka yang kurang akrab bagi telinga yang tiap hari mendengar nada pop juga menguatkan mitos pada grup ini.

Efek Rumah Kaca bilang bahwa mereka grup pop, tapi pilihan nada, aksi, juga pernyataan mereka justru bertentangan sebagai band pop yang haus publisitas atau menciptakan lagu yang mudah didengar. Mungkin mereka mau memudahkan. Mereka tidak menyiratkan sebagai band pop. Langkah mereka tidak populer; aku pernah lihat foto mereka bertiga mengenakan t-shirt bertuliskan: Pasar Bisa Diciptakan. Menurutku mereka grup alternatif atau postrock. Banyak orang bilang grup ini politis, seperti terbukti dari beberapa lagunya. Mereka juga justru mengkritik budaya pop dan konsumerisme. Mau mengubah dari dalam?

Mungkin itu yang membuat lagu-lagu mereka agak susah dihafal. Aku beberapa bulan ini dengar album ke dua mereka, Kamar Gelap, dengan hanya mudah ingat Mosi Tidak Percaya (lagu yang sangat politis), Kenakalan Remaja di Era Informatika (singel dari album ini), dan Laki-laki Pemalu. Dari album pertama, yang teringat mudah ialah Cinta Melulu, Terus Belanja Sampai Mati, dan tentu saja lagu yang membuat mereka bisa memikat banyak orang: Di Udara---sebuah lagu yang konon tentang Munir, karena memang didedikasikan buat dia.

Sore itu Efek Rumah Kaca main dua sesi. Sesi pertama berlangsung sampai menjelang magrib. Aku ikut berdendang tapi terkadang lupa judulnya. Sesi kedua Cholil main dengan mengenakan sweater, mungkin kedinginan oleh hawa yang mulai dingin. Dia mula-mula menyanyikan dua cover sendirian, lantas memanggil Adrian dan Akbar untuk memainkan Hallelujah dari versi Jeff Buckley. Ini mungkin kejutan buat para pengunjung. Adrian juga nyanyi Laki-laki Pemalu. Selama konser berlangsung, Rani terus melakukan shooting. Budi bilang pada penonton bahwa konser ini direkam. Aku berharap agar acara bernama "Rukustik" rekaman ini nanti dirilis sebagai live album.

Kami terpkasa pulang lebih awal, setelah Budi mengajak trio ngobrol dengan lucu. Tubuh Shanti kembali lebih hangat, jadi Fenfen dan aku khawatir. Gerimis juga sudah turun agak sering. Entah bagaimana konser itu berakhir, apa mereka jalan terus meski gerimis, atau harus berhenti karena penonton tentu mulai basah. Aku senang bisa nonton acara musik yang bagus dan beli pin ERK gambar pohon meranggas. Ilalang dan Shanti juga gembira. Fenfen banyak ngobrol dengan teman-temannya. Sabtu sore yang memuaskan, sebelum aku harus antusias untuk kembali berhadap-hadapan dengan wajah kehidupan yang menyeringai mengancam.[]

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com
http://halamanganjil.blogspot.com (foto-foto konser, akan diupload)

Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.