Rabu, 07 Mei 2008

KOMITMEN PARPOL DAN CALEG PEREMPUAN

Oleh Aminuddin Siregar

Dessy Ratnasari, tampil sebagai caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurut berita yang beredar Ia dicalonkan dari Sukabumi untuk pemilu 2004. Hak politik kaum perempuan tidak saja mesti diakomodir tetapi juga patut diberi ruang gerak dan tempat bagi siapapun saja perempuan yang punya minat dan naluri politik untuk kimprah di pentas perpolitikan kita. Sepanjang memenuhi persyaratan yang disepakati. Baik nasional, maupun lokal. Karena itu kehadiran Dessy Ratnasari sebagai caleg, mesti menjadi bagian dari idealisme politik.
Para analis gender, seperti Ratna Megawangi berpendapat bahwa perempuan perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki. Inilah antara lain yang sering dijadikan sebagai pijakan meluasnya tuntutan terhadap emansipasi. Kemudian, muncullah sejumlah pendekatan dalam upaya mendiskusikan posisi perempuan dalam masyarakat. Nampaknya, perempuan sebagai figur pengasuh tidak diterima begitu saja, hingga melahirkan pemikiran perlunya kajian terhadap persamaan gender.
Persoalan feminisme dengan demikian menajdi perdebatan panjang yang sulit untuk dituntaskan. Lantaran terjadi dualisme pendapat tentang citra kaum perempuan. Di satu sisi menyatakan bahwa kaum perempuan berada pada posisi yang tertidas. Sementara di sisi lainnya mengemukakan bahwa kaum perempuan, mempunyai kedudukan yang tiada tara, baik dalam agama maupun kultural.
Anggapan yang menyatakan bahwa mereka berada dalam posisi yang tertindas, lantaran peran mereka umumnya diihat dalam konteks peran konvensionalnya menjalankan pekerjaan-pekerjaan disektor domestik belaka. Dalam tataran ideologis dan kultural, mereka dianggap mampu mensejajarrkan kedudukan mereka pada posisi yang didominasi kaum laki-laki.
Itu pula barangkali sebabnya, yang menyemangati munculnya gerakan emansipasi dan meluasnya gerakan persamaan gender. Hal ini terlihat bahwa kaum perempuan telah lebih maju lagi lantaran mereka juga nampak perfek mengejakan kegiatan tipikal laki-laki. Sehingga amatlah wajar kalu masa menjelang pemilu ini kembali mengemuka keterwakilan perempuan, apalagi secara legal formal telah dinyatakan keterlibatan mereka dalam dunia politik.
Bahwa selama ini kaum perempuan terjepit oleh persoalan gender. Sehingga ruang gerak mereka sangat konvensional dan sringkali dipandang sebagai tidak layak menjadi misalnya politisi. Status dan kedudukan mereka disektor publik seringkali dipertanyakan dan diperdebatkan. Hal ini seringkali ada pihak-pihak yang merasa diabaikan dan bahkan dirugikan, karena mereka menganggap bahwa mereka juga mampu.
Persoalannya, dalam kondisi seperti sekarang ini apakah ada pengecualian antara caleg yang dipinang oleh partai politik tertentu dan caleg yang secara sukarela mendadaftarkan dirinya sebagai caleg, berbeda dengan caleg dari kalangan kaum laki-laki, apabila nomor urut caleg identik dengan calon jadi ? Sehingga caleg dari pihak kaum perempuan cuma dijadikan sebagai pancingan atau pencetak suara belaka. Inilah antara lain yang menjadi persoalan serius dilihat dari konteks keterlibatan mereka di panggung perpolitikan. Baik nasional maupun lokal. Karena itu perlu komitmen partai politik terhadap keterwakilan kaum perempuan di lembaga legislatif

Bisnis Kursi

Belakangan muncul isu kepermukaan, bahwa partai politik tertentu menerapkan sistem pendaftaran caleg yang dibarengi dengan setoran sejumlah uang. Celakanya, muncul pula desas-desus bahwa kursi legislatif diduga telah dibisniskan. Terlepas dari otak kotor dibelakangnya. Perilaku membisniskan kursi legislatif memang bukan pekerjaan terpuji. Itu bukan saja akan merobohkan pilar kewibawaan lembaga parlemen kita. Melainkan juga menggusur habis idealisme politik.
Oknum politisi yang bertindak seperti itu patut dikategorikan sebagai politisi busuk. Situasi seperti itu telah menimbulkan persangkaan yang bisa mengakibatkan terjadinya pergesekan. Ujung-ujungnya akan muncul ancaman baru bagi terbentuknya idealisme dan cita-cita reformasi politi. Sementara itu, anggapan bahwa reformasi dan pembangunan politik, kini sedang terseok-seok dan amat tidak kondusif, adalah benar belaka.
Idealnya, setiap caleg mestinya tidak dibebani dengan sejumlah setoran uang politik dalam penentuan nomor urut. Ini jelas akan mengundang masalah. Sebab, dengan setoran uang sekian juta setiap caleg yang mendaftarkan dirinya sebagai caleg, akan menimbulkan masalah lain bagi si caleg, yang secara psikologis setiap caleg terpilih tidak akan pernah memikirkan kepentingan rakyat apa lagi untuk membelanya. Caleg seperti itu jelas akan berupaya mengganti uang politik yang telah disetorkannya.
Persoalan menyetor sejumlah uang atau tidak menyetor kepada partai politik yang meminang dan meminta kesediaan para artis mungkin bukanlah masalah serius bagi mereka. Namun bila ada caleg perempuan yang punya potensi dan siap jadi caleg. Lepas dari apakah itu nomor jadi atau bukan. Niatan untuk mendaftar yang disertai dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap nasib rakyat untuk mensejahterakannya, seharusnya diakomodir oleh partai manapun saja. Sehingga tidak terkesan bahwa partai politik yang cenderung hanya memanfaatkan ketenaran para artis belaka untuk meraup suara sebanyak mungkin.
Itu barangkali sebabnya mengapa misalnya penyanyi, Connie Constantia belum menyatakan kesiapannya menjadi calon anggota legislatif (caleg), lantaran belum melihat adanya perubahan berarti dalam panggung politik
di Tanah Air (Kompas, 21 Februari 2004). Menurutnya, apakah caleg atau capres, mesti terlebih dahulu memenuhi tiga kriteria, yakni orang kaya, takut pada Tuhan, dan punya perhatian pada rakyat. Karena itu pula wajarlah kalau Connie juga selektif terhadap parpol yang akan menggaetnya.
Caleg seperti Marissa, --nampaknya boleh dikatakan memenuhi kriteria itu, hanya saja seberapa ruang gerak diberikan padanya sesudah terpilih jadi anggota legislatif-- yang beberapa waktu lalu mengaku lebih sreg dengan Jawa Timur atau Bandung. Tidak tanggung-tanggung, Ia dijadikan sebagai calon jadi.Tentu saja kita berharap agar kehadiran kaum perempuan sebagai anggota legislatif bisa berbuat banyak untuk rakyat. Sebagai artis tenar yang cukup populer tentu tahu bangat bagaimana mengadopsi peran untuk membela kepentingan rakyat.

Janji Parpol

Tentu saja kita berharap agar keterwakilan kaum perempuan di lembaga legislatif itu bukan cuma janji belaka dari partai politik yang ada, melainkan suatu komitmen kuat. Kalau trnyata cuma janji belaka dari partai politik dan tidak bisa memenuhi kuwota sebagaimana diamanatkan undang-undang partai politik. Maka dapat diperkirakan bahwa citra kaum perempuan di panggung perpolitikan kita di Tanah Air, jelas tetap memprihatinkan.
Meskipun barangkali setiap partai politik akan tetap melirik orang-orang terkenal, orang-orang tenar, atau diidolakan masyarakat luas lewat popularitas mereka. Akan tetapi kiprah kaum perempuan di panggung politik baik nasional maupun lokal patut diakomodir. Menurut hemat kita akan lebih baik bila para artis direkrut daripa caleg yang melakukan tindakan pemalsuan ijazah untuk menjadi caleg.

Sampai hari-hari belakangan ini memang belum begitu banyak muncul nama-nama siapa saja wajah baru itu dari kalangan artis yang bakal tampil dipanggung perpolitikan kita. Akan tetapi, Nama-nama seperti Ria Irawan, Nia Daniati, Camelia Malik dan sejumlah artis tenar, nampaknya akan tampil sebagai caleg atau sekadar sebagai juru kampanye (jurkam). Ini lebih bagus daripada memalsu ijazah.
Mereka para artis itu merupakan figur-figur yang memang mesti diperhitungkan oleh partai manapun saja..Tidak hanya untuk meramaikan saja tetapi juga untuk dapat meraih sebanyak mungkin perolehan suara. Ini juga mesti bisa dijadikan sebagai pendidikan politik kaum perempuan. Bahwa posisi perempuan dapat bergeser dari figur pasif menjadi figur aktif, dari pekerjaan disektor domestik ke pekerjaan sektor publik. Sehingga peran serta kaum perempuan dalam berbagai sektor dapat berkembang.
Mereka yang misalnya memilih kendaraan politik adalah Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), --yang capresnya di isukan akan mengusung putri mantan penguasa Orde Baru H. M Soeharto, yakni Mbak Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut-- tidak boleh ragu, akan tetapi mesti siap bertarung. Katakanlah seperti artis, penyanyi melankolis Nia Daniati, yang beberapa waktu lalu dikabarkan menjadi calon anggota legislatif dari Partai Karya Peduli Bangsa, yang mengaku akan memperhatikan masalah pendidikan, sebagaimana diberitakan Media Indonesia, 25-01-2004 yang lalu.
Tentang pencalonan Mbak Tutut, mantan presdien Abdurrahman Wahid (Gus Dur), justru melihatnya dari sudut lain, dan mengatakan bahwa Soeharto melarang Tutut jadi capres. Jika benar, maka adalah hal biasa dalam dunia politik, Meskipun menurut pengakuan Mbak Tutut sendiri bahwa dirinya tidak mencalonkan, melainkan diminta untuk dicalonkan. Semua itu bolehlah kita lihat bahwa caleg atau capres perempuan merupakan bagian dari idealisme politik.
Bagaimanapun kehadiran Tutut tetap mengundang persoalan politik. Namun demikian dalam konteks kiprah kaum perempuan bisa saja PKPB akan lebih banyak mengakomodir kaum perempuan dari berbagai kalangan untuk kedepan. Sebab, selain partai ini mesti menyususn kekuatan, juga mesti menciptakan strategi baru, termasuk melahirkan modus baru menjaring caleg untuk memenangkan pemilu yang digelar. Mari, kita ikuti terus perkembangan politik negeri ini dan kita sukseskan pemilu. Perlu itu.

Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Depdagri Bukittinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar